Jumat, 13 Juni 2014

It's Pain



Home alone. Ya, gue sendirian di rumah malem ini. Suasana sepi, gak tau mau ngapain, bingung. Mau nonton piala dunia tapi entah kenapa gak mood. Bolak-balik ngecek layar henpon gak ada notif. Oh gosh, i am feel like a poor kid. Sedihnya, tadi sore gue abis suntik, dua ampul sekaligus dan rasanya perih banget. Lambung rasanya kayak disilet-silet, terus diperesin jeruk nipis di atasnya. Badan demam tinggi saking gak kuatnya nahan rasa sakit. Sialnya juga, hari ini gue pertama menstruasi. Guling sana guling sini sampe emosi sendiri. Perang dunia ketiga kejadian di perut gue.

Mau nenggak asam mefenamat tapi udah gak dibolehin sama dokter. Mau konsumsi penenang tapi udah janji sama diri sendiri mau jauhin pil-pil begituan lagi. Aaaak i need something to decrease my pain. Demam gue makin tinggi and i really needed bye-bye fever. As like as usual, i just can crying. Cengeng? Biarin. Mau cerita gak tau ke siapa, jadilah gue nulis di sini sembari nahan rasa sakit.

“Sakit adalah konspirasi semesta dalam menunjukkan siapa yang paling pengertian”. Dan ya, gak ada tuh yang peduli. But it’s ok, at least gue masih punya diri sendiri yang bisa nguat-nguatin, walau kadang emang sok kuat. BODO AMAT. Sebenernya gue capek harus selalu kontrol dokter, konsumsi obat oral, suntik seminggu dua kali. But hey, gue cuma ngejalanin apa yang bisa gue lakuin buat selalu sehat. Sedih saat orang lain di luaran sana gak ngerti, dan ya mereka gak akan pernah ngerti. Gue gak butuh doa, dengan gak komentar buruk dengan sakit gue itu udah cukup banget kok. 

Malem ini bener-bener nyadarin gue banget bahwasanya yang bisa nolong diri lo ya cuma diri lo sendiri. Surprisingly, i was strong through it alone. Gue bisa rebus air anget terus masukin ke dalem botol. Gue bisa ngompres dan ngusapin perut sendiri. Gue bisa bikin teh anget terus minum itu pelan-pelan. Gue bisa, walaupun ngerjainnya pake air mata. Sekali lagi itu cengeng? Biarin. Bodo amat. Gak peduli. Orang lain juga gak peduli kok sama gue. Iya, gak ada seorangpun yang peduli.

Impulsif

Mau tau apa kamu tentang hidupku sekarang? Setelah puas kamu hancurkan, tega-teganya kamu tertawakan aku dengan begitu jumawanya.

Merasa hebat? Merasa menang? Jika hadiahnya adalah kesakitanku, kamu jelas senang.

Lupa? Bahkan ingatanku belum cukup tua untuk berhenti mengingat. Perlakuan naifmu tersimpan dalam memori otakku. Berputar dengan sendirinya tanpa ku perintah. Setiap detail dalam detiknya, membunuhku perlahan.

Sayangmu impulsif. Membahagiakan yang mana? Jika yang kau maksudkan adalah menyengsarakan, kamu berhasil. Selamat.

Aku mengenangmu dalam benci. Dan akan tetap seperti ini, sampai mati.

Omong Kosong

Kamu bilang aku murahan. Tentunya aku menyesal selama ini tidak dibayar.

Kamu bilang aku jahat. Tentunya aku menyesal tak membunuhmu hidup-hidup.

Kamu bilang aku memaksa. Tentunya aku menyesal pernah mengemis di kakimu bak tak punya harga diri.

Kamu bilang aku sampah. Tentunya aku menyesal pernah kau pakai lalu kau buang.

Kamu bilang aku kasar. Tentunya aku menyesal tak menggunakan tangan dan kakiku untuk membuatmu memar.

Kamu bilang aku tak pantas. Tentunya aku menyesal atas usahaku membuat diriku layak mendampingimu dan jadi yang kamu mau.

Tolong catat : "Semua ucapanmu omong kosong"



GILA

Entah sudah batang ke berapa yang kubakar, tapi cemasku tak juga terasa samar;  justru terdengar makin hingar.

Asbak mulai penuh dengan abu dan puntung, ada sakit yang ikut meremas jantung; sungguh aku bukan orang beruntung.

Ini gelas ke-sebelas, kerongkonganku mulai panas; mabuk datang dan tubuhku menyambutnya dengan lemas.

Aku meracau sendirian, tak ada yang mendengar. Terus diabaikan, aku gusar.

Gila.

Tidur dan lupa.

PULANG

Datanglah, walau hanya mengetuk pintu lalu pergi lagi. Tak apa, aku tahu kakimu lebih bahagia melangkah menjauh ketimbang menghampiri.

Pulanglah, walau hanya mengintip jendela lalu bersembunyi. Tak apa, aku tahu bayanganmu sekalipun tentunya tak sudi tertangkap retinaku.

Kembalilah, pastikan aku baik-baik saja. Walau kamu tahu, tentunya keadaanku akan jauh dari kata baik.

Jangan banyak bertanya mengapa. Anggaplah kali ini aku memaksa. Sudah, lakukan saja. Berhenti bertanya, cukup lakukan untukku; sekali ini saja.

Setidaknya, kamu pernah berpikir untuk datang. Setidaknya, kamu pernah berpikir untuk pulang. Setidaknya, kamu pernah berpikir untuk kembali. Setidaknya, kamu pernah menuju ke sini. Setidaknya, kamu pernah begitu dekat, walau aku dan kamu tidak saling melihat.

Minggu, 12 Januari 2014

Cinta, Semesta kita


Harapku ini sederhana. Aku ingin aku menjadi orang yang pertama kali kamu datangi saat kamu ingin bercerita. Di sini aku akan selalu menyediakan telinga dan bahuku, lengkap dengan sapaan hangat dan seulas senyum simpul yang memperlihatkan kedua lesung pipiku. Kamu selalu mengatakan bahwa kamu menyukai senyumku, seolah ada obat luka di sana. Karena dengan melihat senyumku sedihmu akan hilang seketika. Lalu seperti biasa kamu akan mulai bercerita, ya tentu saja tentang dia.

Sini datang dan jangan sungkan bercerita, aku akan menunjukkan wajah paling bahagia mendengar bahagiamu karenanya. Tapi jangan tatap mataku lama-lama, aku kerap kesulitan menyembunyikan cemburu. Sana kejar dan katakan kau cinta padanya, setidaknya rasamu harus sampai, jangan memendam seperti aku. Aku paham betul rasanya mencintai diam-diam, seolah nafasmu tercekat di kerongkongan. Tentu saja rasanya sesak sekali. Aku paham betul, jadi segera utarakan perasaanmu padanya.

Tapi kali ini kamu beda, banyak diam dan seantusias biasanya. Apakah dia menyakiti hatimu? Atau kamu cemas dengan keberadaanku di sampingmu jika kau sudah memilikinya. Ah, aku bukan selingkuhan yang perlu takut dicemburui, bukan pula penjahat yang patut diwaspadai. Aku teman dekatmu, dan kita sudah bersenyawa. Kamu tak kunjung bercerita, hanya diam, seperti ingin bicara, lalu diam lagi. Berulang kali masih dengan ekspresi yang sama. Ingin kutanyakan apa yang terjadi padamu, tapi kamu seolah tak ingin bicara. Kusodorkan bahuku, kamu terima dan terlelap di sana.

Tuhan, aku menginginkan malaikat ini. Mengatur perasaan untuk berpura tak ada rasa sungguh menyulitkan, walaupun terbiasa kulakukan hal ini bertahun-tahun lamanya. Aku termenung dan melamun, lalu tak lama kamu terbangun. Tiba-tiba saja kamu menggenggam tanganku, sementara kepalamu masih bersandar di bahuku. Kamu berkata akulah orangnya, dia yang kamu maksud dan ceritakan kepadaku selama ini adalah aku. Aku hanya bisa diam, hatiku berkata bahwa aku dan kamu pantas. Semesta tahu cinta tak jauh, ia sungguh dekat, seperti kita.