Ku kira aku mampu, ternyata harus mengaku gagal
dan harus kuikhlaskan hatiku menerima kehilangan (lagi). Nyatanya aku
dipermainkan oleh jarak dan hatinya. Rumitnya konsep pemahamannya memandang
hubungan kami, tentang perbedaan yang ada. Waktu yang terlalu cepat justru
membuat aku dan dia ragu, seolah semua adalah kesalahan. Bagaimana ketidaksepahaman
kami dan ketidaksiapannya menjalani hubungan ini. Ya, aku paham banyak yang
salah dalam hubungan kami. Mungkin terlalu cepat ingin memiliki tapi kami lupa
bahwa belum siap untuk terhalang jarak, dan betapa sultnya pertemuan dilakukan.
Ditengah ketidakpercayaanku pada cinta kamu datang.
Aku kembali kedatangan setelah ada kepergian. Setelah kuputuskan untuk menata
hatiku dan siap berjalan sendirian, kamu datang mengambil alih posisinya.
Salahku? Bukan. Ini salahnya yang membiarkan posisinya diambil alih oleh kamu.
Sedangkan kamu, iya kamu hanyalah pelipur lara setelah aku mulai merasa tak
membutuhkan siapa-siapa untuk mengisi kekosongan hati. Kamu ada dan dekat
denganku saat ini. Tak ada jarak yang membatasi tatapan kita dan hangat tawa
saat kita bersama.
Tapi sekali lagi aku harus membatasi hatiku
dari rasa ingin terhadap kamu. Aku hanya terlalu takut merasa ketergantungan
dan berujung kesakitan. Betapa kamu adalah sosok yang aku ingini, namun jujur aku
belum siap untuk kehilangan (lagi). Mengapa? Karena kita beda. Ya entah keberapa
kalinya harus seperti ini, aku menemukan titik nyaman di pribadi yang tak sama
denganku. Entah, tak ingin ada pengharapan disini. Hanya ingin menjadi partner
yang baik untuk saling menemani, itu saja.
“Kehilangan sebelumnya
mengajarkanku bahwa merasa tidak memiliki adalah pertahanan teerbaik untuk
menghindari rasa ketiadaan dan kesepian. Karena satu-satunya cara untuk menolak rasa sakit
adalah berdamai dengan nyerinya”.