Hallo pangeran kerenku,
Kamu pasti tahu bahwa putri cerewetmu ini paling benci bangun pagi. Tapi
tidak dengan hari ini, tahu alasannya apa? Iya, aku menunggu tukang pos
mengantarkan kertas berisi barisan aksara yang tak bisa kuprediksi
isinya apa. Ini bisa kujadikan rutinitas menyenangkan tiap pagi.
Menunggu tukang pos datang dan berlari cepat ke kamar untuk menciumi
amplop suratmu, kemudian merobeknya dengan tergesa. Aku tak pernah sabar
untuk membaca tulisan tangan berantakan milikmu. Ujian maha berat
sekaligus berkah maha nikmat karena aku dapat mengetahui kabar serta
mendengar ceritamu.
Tak pernah ku utus peri manapun untuk bersembunyi di tiap kata yang
kugoreskan dalam pena, lalu menyihirmu. Kamu harus percaya Langit,
kata-kata pada tiap suratku mengalir begitu saja. Tak ubahnya hujan,
jatuh tanpa beban. Aku menyukai rutinitas baru kita, bertukar kabar
lewat surat. Semoga mengobati lebam di hati akibat dipukuli oleh rindu.
Iya, jarak kurasa begitu keparat. Maaf Langit, bukan ingin mengumpat,
hanya saja terkadang lelahku seharian ingin sekali diganti dengan sebuah
candaan hangat.
Aku percaya kamu pasti baik-baik saja. Sahabatku tetap sama meski
lingkungannya kini berbeda. Tak perlu kita tautkan kelingking karena aku
sudah percaya. Tentang kesibukanmu, aku paham sekali. Bukan hanya kamu
yang merasakannya, akupun begitu. Kegiatan kampusku mulai padat
belakangan ini. Setiap dosen menghujani tugas tanpa ampun. Jadwal
kuliahku juga menyita waktu. Tapi Langit, tolong perbaiki pola tidurmu.
Kamu harus tetap sehat di tengah padat kesibukanmu. Aku tidak mau
mendengar kabar sahabatku jatuh sakit di kejauhan 164 KM sana. Jangan
buat putri cerewetmu ini mengomel jika mengetahui pola tidurmu masih
berantakan. Awas saja!
Sepertinya menyenangkan jika kita bisa melepas penat bersama di tengah
senggang kesibukan kita, walaupun hanya sekadar duduk sembari bercerita
ini itu. Rasanya sudah lama tak tertawa lepas bersama. Aku kangen senyum
simpulku yang tercipta karena tingkah lucumu. Oia, aku juga kangen
menjailimu. Hehehe
Haha sebegitu kangennya denganku? Kalau aku mengikuti caramu, aku hanya
akan bertemu kamu di mimpi, sedang aku ingin bertemu langsung. Menatap
kedua mata indahmu yang terhalang kaca mata. Melihat alis tebalmu yang
seperti ulat bulu. Mengamati barisan gigi rapimu. Ah, apa saja
tentangmu; semuanya menyihir. Pasti di Jogja sana banyak gadis-gadis
yang tertarik padamu. Aku bisa pastikan itu. Dududu ~
Hey! Mana mungkin kamu bisa iri dengan senja yang indahnya bahkan jauh
di bawahmu. Bukan aku tak ingin menulis tentang kamu. Tapi bagaimana aku
menjabarkan keindahan yang bahkan keindahannya terlalu indah untuk
diindahkan. Tentang hadiah puisi itu, kamu boleh memilih tentang apa
saja. Tentang senja, tentang kamu, tentang kita, atau tentang hal
lainnya. Apapun, pilihlah salah satu yang kamu mau.
PS: Perbaiki waktu istirahatmu!
Putri cerewetmu,
Luna Putri Malam
Rabu, 16 Januari 2013
Convo
Lelakiku. Kau adalah lelaki terbaik yang pernah kumiliki dalam hidupku selain ayahku. Rasanya tak perlu kutanya berapa besar rasa sayangmu padaku, karena perlakuan dan perkataanmu sudah cukup menyiratkan dan menyuratkan itu. Inilah kamu dengan segala adamu, semua ku cinta tak peduli kita beda. Tapi menurutku kau terlalu sibuk dengan konsep pemahamanmu sendiri. Tentang bagaimana caramu memandang hubungan kita, rumit dan penuh keraguan. Iya, namun akhirnya tetap kamu jaga karena kau masih ingin bersamaku sebagai kita.
Perempuanku. Kau wanita ketiga yang kucintai setelah ibu dan kakak perempuanku. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Tak perlu kau ragu karena aku tak pernah main-main dengan itu. Maaf, bukan aku ingin berdebat denganmu tentang perbedaan yang kita punya, tapi aku sadar ini adalah waktunya. Aku bangga pada pemikiranmu tentang menjaga kita, begitu sederhana karena setidaknya kita pernah mencoba untuk mempertahankan kita.
Lelakiku. Saat kita dihadapkan pada sebuah perbedaan, siapa yang harus disalahkan. Aku, kamu, Tuhanku, atau Tuhanmu? Dan bila kamu sendiripun ragu, lalu bagaimana caramu meyakinkanku? Perasaanku padamu telah bermekaran cepat dihatiku. Sekarang sedang musim semi, apa ingin kau ganti dengan musim gugur? Dan dengan rinduku yang terus berdatangan, apa kali ini akan kau tolak sebab tak ingin ada kehilangan?
Perempuanku. Terlalu banyak pertanyaan di sana. Satu-satunya pernyataan yang ingin kusampaikan adalah Aku mencintaimu. Tak penting siapa yang patut dipersalahkan, karena kita tidak sedang mencari pembenaran. Bukan ragu, hanya saja aku mendengar dari mereka yang merasa suci bahwa berjalan denganmu di atas perbedaan berarti dosa. Ya, aku tak begitu paham dengan konsep dosa, tapi yang aku sadari kini Tuhanlah pesaing kita, pemisah yang paling berkuasa. Tentang perasaanmu bukan kuasaku untuk mengaturnya, Tuhanmu lebih berhak rasanya. Mungkin saat kau sedang merasakan musim gugur, aku sedang menikmati musim kemarau. Lebih terasa menyakitkan bukan? Sayang, rindumu mana yang pernah kutolak? Bahkan hatiku sering lebam dipukuli oleh rindu dan kunikmati tiap detailnya sendirian.
Lelakiku. Akupun mencintaimu, sebab kita adalah ganjil-ganjil yang saling menggenapi. Dua perbedaan yang saling melengkapi. Doa-doa yang terangkum dalam amin, dan sebuah keteraturan yang berantakan. Kita sama rasa, setidaknya tak pernah ada yang ingin saling menyakiti di sini. Kamu ada dan aku cinta, begitupun sebaliknya. Lalu, bagaimana cara melupakanmu bila selama ini kamu terlalu banyak memberi ingatan untuk dikenang?
Perempuanku. Bagaimana bisa aku berdoa dan kamu mengamini, jika Dia yang kita imani tak sama? Jika diberi kesempatan memilih, pasti pilihan kujatuh di kamu. Tapi sayang, Tuhan kita tak menghendaki itu. Jika kenangan memelukmu terlalu sesak dan kau merasa kelelahan, silahkan lepaskan kenangan itu dan abaikan saja tiap partikel yang terlintas di hati dan otakmu.
Lelakiku. Aku dan kamu memang mengimani keyakinan yang berbeda, tapi mengamini doa yang sama; kebersamaan kita. Dapat kupastikan bahwa aku mengingatmu selalu, bahkan jika wakunya tiba dan kita saling melepas genggaman satu sama lain. Karena setelah itu ingatan tentangmu satu-satunya yang kupunya. Kamu pasti pergi, tapi kenanganmu akan tinggal. Satu-satunya pertahanan terbaik untuk tidak merasa sakit adalah berdamai dengan nyerinya.
Perempuanku. Kau mungkin dapat memelukku malam ini, tapi esok tak akan lagi karena keyakinanku memelukku jauh lebih erat daripada kamu. Satu hal yang harus kau tau, hingga saat ini aku masih meminta pada Tuhanku untuk menjagamu, setidaknya Dia lebih mampu daripada aku.
Perempuan: Lelakiku, aku mencintaimu.
Lelaki: Akupun mencintaimu perempuanku, sangat mencintaimu tepatnya.
Perempuan: Lalu, bisakah kamu memeluk keyakinanku juga?
Lelaki: Mencintai tak harus memeluknya bukan?
Perempuan: Baiklah, aku mencintaimu.
Perempuanku. Kau wanita ketiga yang kucintai setelah ibu dan kakak perempuanku. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Tak perlu kau ragu karena aku tak pernah main-main dengan itu. Maaf, bukan aku ingin berdebat denganmu tentang perbedaan yang kita punya, tapi aku sadar ini adalah waktunya. Aku bangga pada pemikiranmu tentang menjaga kita, begitu sederhana karena setidaknya kita pernah mencoba untuk mempertahankan kita.
Lelakiku. Saat kita dihadapkan pada sebuah perbedaan, siapa yang harus disalahkan. Aku, kamu, Tuhanku, atau Tuhanmu? Dan bila kamu sendiripun ragu, lalu bagaimana caramu meyakinkanku? Perasaanku padamu telah bermekaran cepat dihatiku. Sekarang sedang musim semi, apa ingin kau ganti dengan musim gugur? Dan dengan rinduku yang terus berdatangan, apa kali ini akan kau tolak sebab tak ingin ada kehilangan?
Perempuanku. Terlalu banyak pertanyaan di sana. Satu-satunya pernyataan yang ingin kusampaikan adalah Aku mencintaimu. Tak penting siapa yang patut dipersalahkan, karena kita tidak sedang mencari pembenaran. Bukan ragu, hanya saja aku mendengar dari mereka yang merasa suci bahwa berjalan denganmu di atas perbedaan berarti dosa. Ya, aku tak begitu paham dengan konsep dosa, tapi yang aku sadari kini Tuhanlah pesaing kita, pemisah yang paling berkuasa. Tentang perasaanmu bukan kuasaku untuk mengaturnya, Tuhanmu lebih berhak rasanya. Mungkin saat kau sedang merasakan musim gugur, aku sedang menikmati musim kemarau. Lebih terasa menyakitkan bukan? Sayang, rindumu mana yang pernah kutolak? Bahkan hatiku sering lebam dipukuli oleh rindu dan kunikmati tiap detailnya sendirian.
Lelakiku. Akupun mencintaimu, sebab kita adalah ganjil-ganjil yang saling menggenapi. Dua perbedaan yang saling melengkapi. Doa-doa yang terangkum dalam amin, dan sebuah keteraturan yang berantakan. Kita sama rasa, setidaknya tak pernah ada yang ingin saling menyakiti di sini. Kamu ada dan aku cinta, begitupun sebaliknya. Lalu, bagaimana cara melupakanmu bila selama ini kamu terlalu banyak memberi ingatan untuk dikenang?
Perempuanku. Bagaimana bisa aku berdoa dan kamu mengamini, jika Dia yang kita imani tak sama? Jika diberi kesempatan memilih, pasti pilihan kujatuh di kamu. Tapi sayang, Tuhan kita tak menghendaki itu. Jika kenangan memelukmu terlalu sesak dan kau merasa kelelahan, silahkan lepaskan kenangan itu dan abaikan saja tiap partikel yang terlintas di hati dan otakmu.
Lelakiku. Aku dan kamu memang mengimani keyakinan yang berbeda, tapi mengamini doa yang sama; kebersamaan kita. Dapat kupastikan bahwa aku mengingatmu selalu, bahkan jika wakunya tiba dan kita saling melepas genggaman satu sama lain. Karena setelah itu ingatan tentangmu satu-satunya yang kupunya. Kamu pasti pergi, tapi kenanganmu akan tinggal. Satu-satunya pertahanan terbaik untuk tidak merasa sakit adalah berdamai dengan nyerinya.
Perempuanku. Kau mungkin dapat memelukku malam ini, tapi esok tak akan lagi karena keyakinanku memelukku jauh lebih erat daripada kamu. Satu hal yang harus kau tau, hingga saat ini aku masih meminta pada Tuhanku untuk menjagamu, setidaknya Dia lebih mampu daripada aku.
Perempuan: Lelakiku, aku mencintaimu.
Lelaki: Akupun mencintaimu perempuanku, sangat mencintaimu tepatnya.
Perempuan: Lalu, bisakah kamu memeluk keyakinanku juga?
Lelaki: Mencintai tak harus memeluknya bukan?
Perempuan: Baiklah, aku mencintaimu.
Senin, 14 Januari 2013
Langitku, Akupun Rindu
Teruntuk,
Langit.
Curang!
Kenapa baru sekarang kamu mengirimiku surat? Padahal sudah sejak lama aku
menantikan barisan aksaramu, surat rindu dari sahabatku di Jogja. Tulisanmu
masih berantakan, sama seperti buku catatanmu waktu masih SMA dulu. Walau
begitu, sama sekali tak mengurangi keantusiasanku untuk membaca suratmu, tempat
di mana tinta dan kertas bersenyawa menerjemahkan rindu. Langit, kamu harus
tau, sebelum surat ini aku baca, aku sibuk menciuminya terlebih dulu. Ku harap
ada sisa parfummu menempel di situ, Aroma yang selalu menjadi cikal bakal
rinduku. Aku kangen wangi parfum yang tercampur bau keringatmu. Unik dan khas
ala kamu. Hehehe
Kabarku
baik, bertambah baik lagi setelah menerima suratmu dari tukang pos tadi pagi.
Purwokerto kita masih sama setiap sudutnya, hanya saja kini sedikit terasa
berbeda; setidaknya bagiku. Kota ini tak sehangat dulu lagi Langit, terutama
sejak kamu memutuskan untuk mengambil studi di luar kota. Ah, betapa aku
mencemaskanmu di sana. Bagaimana tempat tinggalmu? Kerasankah kau di sana? Apa
kamu makan teratur? Bagaimana lingkungan kampusmu? Tapi aku tenang setelah
membaca suratmu. Sahabatku baik-baik saja di kejauhan 164 Km sana.
Langit,
bukan hanya kamu yang terintimidasi rindu, akupun begitu. Aku juga kerap
bertanya dalam hati, memakai pakaian warna apa kamu hari ini, sudahkah kamu
mengikat tali sepatumu dengan rapi, serta berharap agar kamu tak lupa
meletakkan di mana kaca matamu. Iya, sedetail itu. Terlalu banyak pertanyaan
yang ingin aku utarakan terhadapmu. Rasanya ingin tahu lebih banyak tentang
kamu dan Jogja. Aku juga sudah beberapa kali membujuk Ayah, tapi dia selalu
berkata bahwa “Sabar, tunggu saja Langit pulang’.
Jogja
menyenangkan sekali sepertinya. Aku senang bagaimana kamu menceritakan setiap
detailnya. Lain kali kamu harus bercerita lebih banyak, tentang tempat apa saja
yang layak kita kunjungi bersama. Plengkung Gading? Kapan-kapan ajak aku kesana
ya. Nanti kamu boleh memotretku sepuasnya. Sebagai hadiah aku akan menuliskanmu
sebuah puisi tentang senja.
Kemarin
aku makan Soto Sokaraja di tempat langganan kita. Aku terpaksa menghabiskan
satu porsi dan perutku rasanya penuh sekali. Oia, tukang parkirnya bertanya
mengapa aku datang sendiri tanpa membonceng motor vespa kesayanganmu. Menyebalkan
sekali!
PS:
Makan yang banyak!
Salam
rindu,
Luna
Putri Malam
Langganan:
Postingan (Atom)