Rabu, 16 Januari 2013

Convo

Lelakiku. Kau adalah lelaki terbaik yang pernah kumiliki dalam hidupku selain ayahku. Rasanya tak perlu kutanya berapa besar rasa sayangmu padaku, karena perlakuan dan perkataanmu sudah cukup menyiratkan dan menyuratkan itu. Inilah kamu dengan segala adamu, semua ku cinta tak peduli kita beda. Tapi menurutku kau terlalu sibuk dengan konsep pemahamanmu sendiri. Tentang bagaimana caramu memandang hubungan kita, rumit dan penuh keraguan. Iya, namun akhirnya tetap kamu jaga karena kau masih ingin bersamaku sebagai kita.

Perempuanku. Kau wanita ketiga yang kucintai setelah ibu dan kakak perempuanku. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Tak perlu kau ragu karena aku tak pernah main-main dengan itu. Maaf, bukan aku ingin berdebat denganmu tentang perbedaan yang kita punya, tapi aku sadar ini adalah waktunya. Aku bangga pada pemikiranmu tentang menjaga kita, begitu sederhana karena setidaknya kita pernah mencoba untuk mempertahankan kita.

Lelakiku. Saat kita dihadapkan pada sebuah perbedaan, siapa yang harus disalahkan. Aku, kamu, Tuhanku, atau Tuhanmu? Dan bila kamu sendiripun ragu, lalu bagaimana caramu meyakinkanku? Perasaanku padamu telah bermekaran cepat dihatiku. Sekarang sedang musim semi, apa ingin kau ganti dengan musim gugur? Dan dengan rinduku yang terus berdatangan, apa kali ini akan kau tolak sebab tak ingin ada kehilangan?

Perempuanku. Terlalu banyak pertanyaan di sana. Satu-satunya pernyataan yang ingin kusampaikan adalah Aku mencintaimu. Tak penting siapa yang patut dipersalahkan, karena kita tidak sedang mencari pembenaran. Bukan ragu, hanya saja aku mendengar dari mereka yang merasa suci bahwa berjalan denganmu di atas perbedaan berarti dosa. Ya, aku tak begitu paham dengan konsep dosa, tapi yang aku sadari kini Tuhanlah pesaing kita, pemisah yang paling berkuasa. Tentang perasaanmu bukan kuasaku untuk mengaturnya, Tuhanmu lebih berhak rasanya. Mungkin saat kau sedang merasakan musim gugur, aku sedang menikmati musim kemarau. Lebih terasa menyakitkan bukan? Sayang, rindumu mana yang pernah kutolak? Bahkan hatiku sering lebam dipukuli oleh rindu dan kunikmati tiap detailnya sendirian.

Lelakiku. Akupun mencintaimu, sebab kita adalah ganjil-ganjil yang saling menggenapi. Dua perbedaan yang saling melengkapi. Doa-doa yang terangkum dalam amin, dan sebuah keteraturan yang berantakan. Kita sama rasa, setidaknya tak pernah ada yang ingin saling menyakiti di sini. Kamu ada dan aku cinta, begitupun sebaliknya. Lalu, bagaimana cara melupakanmu bila selama ini kamu terlalu banyak memberi ingatan untuk dikenang?

Perempuanku. Bagaimana bisa aku berdoa dan kamu mengamini, jika Dia yang kita imani tak sama? Jika diberi kesempatan memilih, pasti pilihan kujatuh di kamu. Tapi sayang, Tuhan kita tak menghendaki itu. Jika kenangan memelukmu terlalu sesak dan kau merasa kelelahan, silahkan lepaskan kenangan itu dan abaikan saja tiap partikel yang terlintas di hati dan otakmu.

Lelakiku. Aku dan kamu memang mengimani keyakinan yang berbeda, tapi mengamini doa yang sama; kebersamaan kita. Dapat kupastikan bahwa aku mengingatmu selalu, bahkan jika wakunya tiba dan kita saling melepas genggaman satu sama lain. Karena setelah itu ingatan tentangmu satu-satunya yang kupunya. Kamu pasti pergi, tapi kenanganmu akan tinggal. Satu-satunya pertahanan terbaik untuk tidak merasa sakit adalah berdamai dengan nyerinya.

Perempuanku. Kau mungkin dapat memelukku malam ini, tapi esok tak akan lagi karena keyakinanku memelukku jauh lebih erat daripada kamu. Satu hal yang harus kau tau, hingga saat ini aku masih meminta pada Tuhanku untuk menjagamu, setidaknya Dia lebih mampu daripada aku.

Perempuan: Lelakiku, aku mencintaimu.

Lelaki: Akupun mencintaimu perempuanku, sangat mencintaimu tepatnya.

Perempuan: Lalu, bisakah kamu memeluk keyakinanku juga?

Lelaki: Mencintai tak harus memeluknya bukan?

Perempuan: Baiklah, aku mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar