Harapku ini sederhana. Aku ingin aku menjadi orang yang
pertama kali kamu datangi saat kamu ingin bercerita. Di sini aku akan selalu
menyediakan telinga dan bahuku, lengkap dengan sapaan hangat dan seulas senyum
simpul yang memperlihatkan kedua lesung pipiku. Kamu selalu mengatakan bahwa
kamu menyukai senyumku, seolah ada obat luka di sana. Karena dengan melihat
senyumku sedihmu akan hilang seketika. Lalu seperti biasa kamu akan mulai
bercerita, ya tentu saja tentang dia.
Sini datang dan jangan sungkan bercerita, aku akan menunjukkan
wajah paling bahagia mendengar bahagiamu karenanya. Tapi jangan tatap mataku
lama-lama, aku kerap kesulitan menyembunyikan cemburu. Sana kejar dan katakan
kau cinta padanya, setidaknya rasamu harus sampai, jangan memendam seperti aku.
Aku paham betul rasanya mencintai diam-diam, seolah nafasmu tercekat di
kerongkongan. Tentu saja rasanya sesak sekali. Aku paham betul, jadi segera
utarakan perasaanmu padanya.
Tapi kali ini kamu beda, banyak diam dan seantusias biasanya.
Apakah dia menyakiti hatimu? Atau kamu cemas dengan keberadaanku di sampingmu
jika kau sudah memilikinya. Ah, aku bukan selingkuhan yang perlu takut
dicemburui, bukan pula penjahat yang patut diwaspadai. Aku teman dekatmu, dan kita
sudah bersenyawa. Kamu tak kunjung bercerita, hanya diam, seperti ingin
bicara, lalu diam lagi. Berulang kali masih dengan ekspresi yang sama. Ingin
kutanyakan apa yang terjadi padamu, tapi kamu seolah tak ingin bicara.
Kusodorkan bahuku, kamu terima dan terlelap di sana.
Tuhan, aku menginginkan malaikat ini. Mengatur perasaan untuk
berpura tak ada rasa sungguh menyulitkan, walaupun terbiasa kulakukan hal ini
bertahun-tahun lamanya. Aku termenung dan melamun, lalu tak lama kamu
terbangun. Tiba-tiba saja kamu menggenggam tanganku, sementara kepalamu masih
bersandar di bahuku. Kamu berkata akulah orangnya, dia yang kamu maksud dan
ceritakan kepadaku selama ini adalah aku. Aku hanya bisa diam, hatiku berkata
bahwa aku dan kamu pantas. Semesta tahu cinta tak jauh, ia sungguh dekat,
seperti kita.