Teruntuk,
Langit.
Curang!
Kenapa baru sekarang kamu mengirimiku surat? Padahal sudah sejak lama aku
menantikan barisan aksaramu, surat rindu dari sahabatku di Jogja. Tulisanmu
masih berantakan, sama seperti buku catatanmu waktu masih SMA dulu. Walau
begitu, sama sekali tak mengurangi keantusiasanku untuk membaca suratmu, tempat
di mana tinta dan kertas bersenyawa menerjemahkan rindu. Langit, kamu harus
tau, sebelum surat ini aku baca, aku sibuk menciuminya terlebih dulu. Ku harap
ada sisa parfummu menempel di situ, Aroma yang selalu menjadi cikal bakal
rinduku. Aku kangen wangi parfum yang tercampur bau keringatmu. Unik dan khas
ala kamu. Hehehe
Kabarku
baik, bertambah baik lagi setelah menerima suratmu dari tukang pos tadi pagi.
Purwokerto kita masih sama setiap sudutnya, hanya saja kini sedikit terasa
berbeda; setidaknya bagiku. Kota ini tak sehangat dulu lagi Langit, terutama
sejak kamu memutuskan untuk mengambil studi di luar kota. Ah, betapa aku
mencemaskanmu di sana. Bagaimana tempat tinggalmu? Kerasankah kau di sana? Apa
kamu makan teratur? Bagaimana lingkungan kampusmu? Tapi aku tenang setelah
membaca suratmu. Sahabatku baik-baik saja di kejauhan 164 Km sana.
Langit,
bukan hanya kamu yang terintimidasi rindu, akupun begitu. Aku juga kerap
bertanya dalam hati, memakai pakaian warna apa kamu hari ini, sudahkah kamu
mengikat tali sepatumu dengan rapi, serta berharap agar kamu tak lupa
meletakkan di mana kaca matamu. Iya, sedetail itu. Terlalu banyak pertanyaan
yang ingin aku utarakan terhadapmu. Rasanya ingin tahu lebih banyak tentang
kamu dan Jogja. Aku juga sudah beberapa kali membujuk Ayah, tapi dia selalu
berkata bahwa “Sabar, tunggu saja Langit pulang’.
Jogja
menyenangkan sekali sepertinya. Aku senang bagaimana kamu menceritakan setiap
detailnya. Lain kali kamu harus bercerita lebih banyak, tentang tempat apa saja
yang layak kita kunjungi bersama. Plengkung Gading? Kapan-kapan ajak aku kesana
ya. Nanti kamu boleh memotretku sepuasnya. Sebagai hadiah aku akan menuliskanmu
sebuah puisi tentang senja.
Kemarin
aku makan Soto Sokaraja di tempat langganan kita. Aku terpaksa menghabiskan
satu porsi dan perutku rasanya penuh sekali. Oia, tukang parkirnya bertanya
mengapa aku datang sendiri tanpa membonceng motor vespa kesayanganmu. Menyebalkan
sekali!
PS:
Makan yang banyak!
Salam
rindu,
Luna
Putri Malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar